Minggu, 21 Maret 2010

materi kuliah " HUKUM INTERNASIONAL LANJUTAN"

YURISDIKSI NEGARA (STATE JURISDICTION)

- TIDAK DAPAT DIPISAHKAN DARI AZAS KEDAULATAN NEGARA (STATE SOUVEREIGNTY)

- KONSEKUENSI LOGIS DARI AZAS KEDAULATAN NEGARA

- NEGARA MEMILIKI KEDAULATAN ATAU KEKUASAAN TERTINGGI DALAM BATAS-BATAS TERITORIALNYA (TERRITORIAL SOUVEREIGNTY) -à yurisdiksi territorial (territorial jurisdiction)

- Sesungguhnya pengertian YURISDIKSI NEGARA jauh lebih luas daripada pengertian KEDAULATAN NEGARA sebab tidak hanya terbatas pada apa yang dinamakan yurisdiksi territorial yang merupakan konsekuensi dari kedaulatan territorial, tetapi juga mencakup yurisdiksi Negara yang bukan yurisdiksi territorial (dalam hal ini misalnya yurisdiksi ekstra territorial atau extra territorial jurisdiction) yang eksistensinya bersumber dari hukum internasional, seperti yurisdiksi negara di jalur tambahan, di zee, di landas kontinen, di laut bebas, di ruang angkasa etc.

- Sesungguhnya terdapat berbagai macam atau bentuk dari yurisdiksi negara; selain yurisdiksi yang baru dikemukakan di atas (yurisdiksi teritorial), ada yang dinamakan y. legislative, executive, administrative, judicative, y. kriminal, y. sipil, y. personal, y. menurut azas perlindungan, y. universal etc, di mana semuanya ini dapat digunakan oleh suatu negara sesuai kepentingannya.

- Namun dari berbagai macam yurisdiksi Negara, maka yang paling menonjol dan significant adalah y. territorial (territorial jurisdiction). Mengapa ?

- Karena yurisdiksi seperti ini di samping dapat digunakan dan diklaim oleh suatu negara sesuai kepentingannya, yurisdiksi inilah yang pada akhirnya dapat dilaksanakan oleh negara ybs terhadap seseorang atau beberapa orang, benda (benda bergerak atau tidak bergerak), masalah atau peristiwa yang berada dan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah dari negara ybs.

- Menurut Starke, yurisdiksi territorial dapat diartikan sebagai hak, kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh Negara untuk membuat peraturan-peraturan hukum, melaksanakan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut dalam hubungan dengan orang, benda, hal atau masalah yang berada dan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah dari Negara yang bersangkutan.

Dalam hukum internasional dikenal apa yang disebut perluasan yurisdiksi territorial (the extention of territorial jurisdiction). Perluasan ini terjadi

- sebagai akibat dari kemajuan iptek, khususnya teknologi transportasi, komunikasi dan informasi serta hasil-hasilnya.

- Kemajuan iptek ini harus ditampung dan diakomodasi oleh masyarakat dan hukum internasional guna mengantisipasi pemanfaatan dan penyalahgunaan hasil-hasil iptek itu sendiri oleh mereka yang mungkin terlibat dalam pelanggaran hukum maupun tindak pidana di dalam wilayah suatu Negara. Hukum Internasional ternyata mengakomodasi kemajuan iptek tersebut yang konsekuensinya menimbulkan perluasan yurisdiksi teritorial :

- Perluasan yurisdiksi teritorial mempergunakan dua pendekatan ;

1) Prinsip territorial subyektif (the subjective territorial principle);

2) Prinsip territorial obyektif (the objective territorial principle);

Prinsip pertama memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang mulai dilakukan atau terjadi di dalam wilayah negaranya walaupun berakhir atau diselesaikan di Negara lain. Penerapan prinsip teritorial subyektif pada masa lampau dapat ditemukan antara lain dalam beberapa perjanjian internasional, seperti Geneva Convention on the Suppression of Counterfeiting Currency, 1929; Geneva Convention on the Suppression of the Illicit Drug Traffic, 1936, etc).

Prinsip kedua, yaitu prinsip teritorial obyektif memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri (Negara lain), tetapi berakhir atau diselesaikan dan malahan mungkin dapat membahayakan negaranya sendiri. Penerapan prinsip territorial obyektif ini, selain dapat ditemukan dalam kedua perjanjian atau konvensi tersebut di atas, juga dalam konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian lainnya, seperti Konvensi PBB mengenai anti korupsi (UN Convention against Corruption, etc). Kedua prinsip yang digunakan dalam memperluas yurisdiksi territorial tersebut sudah pasti membawa dan menimbulkan apa yang dinamakan persaingan yurisdiksi (concurrent jurisdiction), yaitu persaingan yurisdiksi antara Negara tempat terjadinya suatu tindak pidana dengan Negara yang menerima akibatnya ataupun dengan Negara tempat pelakunya berada atau melarikan diri etc.

Prinsip territorial obyektif selain dapat dilihat atau ditemukan dalam berbagai perjanjian internasional, juga dapat ditemukan dalam putusan Mahkamah Internasional Permanen terkait dengan kasus Lotus (the Lotus Case). Kasus atau perkara ini melibatkan Perancis dan Turki yang timbul akibat peristiwa tubrukan kapal kedua Negara di laut bebas di luar perairan territorial Turki. Turki melalui pengadilannya menggunakan atau menerapkan peraturan hukum pidananya yang di dalamnya memuat azas perlindungan (jurisdiction according to the protective principle) di mana negeri ini berwenang untuk menangani tindak pidana yang terjadi di luar wilayah Turki apabila hal ini menimbulkan kerugian bagi Turki atau warganya. Karena kapten kapal Perancis (MV Lotus) terbukti bersalah serta dihukum berdasarkan atas putusan pengadilan Turki, maka Pemerintah Perancis melakukan protes terhadap Pemerintah negara tersebut. Sengketa kedua Negara diajukan ke depan Mahkamah Internasional Permanen (PCIJ) yang pada akhirnya menyatakan bahwa tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu Negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri, tetapi merugikan Negara tersebut. Putusan Mahkamah ini di samping mengakui dan menerapkan azas perlindungan sebagai landasan dalam mengklaim dan menjalankan yurisdiksi, juga terutama menerapkan azas territorial obyektif, di mana tindak pidana tersebut terjadinya dimulai dari kapal Perancis, tetapi membawa akibat yang merugikan kapal Turki yang dianggap sebagai bagian integral dari wilayah Turki sehingga yang berlaku adalah hukum Negara ini.

Selanjutnya di dalam hukum internasional diakui atau dikenal apa yang dinamakan yurisdiksi personal atau yurisdiksi perseorangan (personal jurisdiction). Suatu Negara dapat mengklaim yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas (jurisdiction according to the personality principle atau disingkat dengan personal jurisdiction). Jadi azas personalitas bisa digunakan oleh suatu negara dalam menangani suatu kasus. Yurisdiksi personal adalah yurisdiksi terhadap seseorang, apakah dia adalah warganegara atau orang asing. Hanya saja orang yang bersangkutan tidak berada dalam wilayahnya atau dalam batas-batas territorial dari Negara yang mengklaim yurisdiksi seperti ini (y.berdasarkan azas personalitas). Negara yang mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya baru dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya secara nyata dan efektif apabila orang yang bersangkutan sudah datang dan berada dalam batas-batas teritorialnya, entah dia datang secara suka rela ataukah datang secara terpaksa, misalnya melalui proses ekstradisi.

Yurisdiksi personal dapat digunakan berdasarkan atas dua macam azas, yaitu azas atau prinsip nasionalitas aktif (active nationality principle) serta prinsip nasionalitas pasif (passive nationality principle).

Yurisdiksi Negara berdasarkan prinsip nasionalitas aktif atau disingkat saja prinsip nasionalitas aktif memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana apabila orang yang melakukan tindak pidana atau orang yang melakukan kesalahan adalah warganegaranya sendiri. Mengapa prinsip nasionalitas aktif bisa digunakan atau diklaim oleh suatu negara ? Hal ini disebabkan karena hukum nasional dari suatu Negara akan selalu mengikuti warganegaranya dimanapun dia berada dan kemanapun dia bepergian. Orang Indonesia membunuh seseorang di Philipina. Hukum Indonesia mengikuti, melekat dan berlaku pada pelakunya, tetapi pada saat bersamaan juga berlaku hukum Philipina sehingga terjadi persaingan yurisdiksi (concurrent jurisdiction). Namun dari persaingan ini, Negara yang efektif untuk menjalankan yurisdiksinya adalah Philipina. Philipina dapat secara efektif menjalankan yurisdiksinya berdasarkan azas territorialitas dilihat dari sudut tempat kejadian dan terutama pelakunya yang berada di dalam wilayah Philipina. Sebaliknya Indonesia tidak mungkin dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif, sekalipun Indonesia memang berkepentingan dan dapat saja mengklaim yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas, dalam hal ini prinsip nasionalitas aktif. Kalau Philipina ternyata menjalankan yurisdiksi teritorialnya dengan melakukan proses hukum terhadap warganegara Indonesia, maka Indonesia wajib menghormati tindakan negara tsb. Kasus pembunuhan oleh Harmoko (Oki), warganegara Indonesia dengan korbannya dua orang Indonesia dan seorang warganegara India yang terjadi dalam wilayah hukum AS pada tahun 1994 menimbulkan persaingan yurisdiksi di antara kedua Negara. AS mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas territorialitas (territorial jurisdiction) karena tempat kejadian, alat bukti, barang bukti termasuk para korban terjadi dan berada di dalam wilayah AS (di Los Angeles). Sedangkan Indonesia juga mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas karena pelaku kejahatan di AS adalah warganegara Indonesia (azas nasionalitas aktif) dan korbannya adalah juga warganegaranya (azas nasionalitas pasif). Selain azas personalitas, maka klaim dan pernyataan yurisdiksi Indonesia atas kasus pembunuhan di AS juga didasarkan atas azas territorialitas karena pelakunya sudah terlanjur masuk ke dalam wilayah Indonesia sebelum kasus itu sendiri berhasil dibongkar oleh aparat hukum AS.

Selanjutnya apa yang dinamakan prinsip nasionalitas pasif (passive nationality principle) memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri apabila pelakunya adalah orang asing, tetapi korbannya adalah warganegaranya sendiri. Orang asing yang melakukan tindak pidana di luar negeri dan merugikan warganegara dari suatu Negara, maka Negara korban dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas, dalam hal ini azas nasionalitas pasif. Negara yang bersangkutan baru dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif apabila pelakunya sudah datang dan berada di dalam wilayahnya. Ada tindakan-tindakan tertentu yang bagi suatu Negara dikategorikan sebagai tindak pidana, tetapi bagi Negara lain bukan tindak pidana atau bukan perbuatan melawan hukum. Misalnya pencemaran nama baik seseorang dikategorikan sebagai tindak pidana dalam hukum Indonesia (KUHPidana dan UU ITE), tetapi dalam hukum AS bukan tindak pidana. Hal seperti ini yang antara lain melatarbelakangi timbulnya azas personalitas yang memungkinkan atau memperkenankan suatu Negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang asing di luar negeri, namun merugikan warganegaranya sendiri. Dalam hubungan ini, persaingan yurisdiksi tentu saja terjadi dan tidak terhindarkan di antara beberapa Negara yang merasa mempunyai kepentingan. Negara mana yang pada akhirnya dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif, tergantung pada Negara tempat pelakunya berada. Kasus pencemaran nama baik mantan Presiden Soeharto oleh majalah Time secara implisit mengandung persaingan yurisdiksi antara Indonesia dan AS, di mana pihak Indonesia berkepentingan untuk mengklaim dan menyatakan kewenangannya atas kasus tersebut berdasarkan azas personalitas, dalam hal ini azas nasionalitas pasif, sementara pihak AS berkepentingan untuk tidak mengklaim dan untuk tidak menyatakan kewenangannya berdasarkan azas territorialitas karena hukum AS tidak melarang masalah pencemaran nama baik tersebut sekalipun pelakunya ada di wilayah AS. AS tidak mencampuri masalah ini karena AS merasa tidak berkepentingan atas kasus yang dalam hukum Indonesia dianggap sebagai kasus pencemaran nama baik atas warganya.

Hukum internasional juga mengakui apa yang dinamakan yurisdiksi berdasarkan azas universal atau disingkat yurisdiksi universal (universal jurisdiction). Semua Negara tanpa terkecuali dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas universal. Terdapat tindak-tindak pidana tertentu yang karena sifat atau karakternya memungkinkan atau memperkenankan semua Negara tanpa terkecuali untuk mengklaim dan menyatakan kewenangannya atas suatu tindak pidana yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tanpa menghiraukan siapa pelakunya (warganegaranya sendiri dan atau orang asing), siapa korbannya (warganegaranya sendiri dan atau orang asing), juga tanpa menghiraukan tempat terjadinya maupun waktu terjadinya. Tindak-tindak pidana yang dimaksudkan antara lain adalah kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap perdamaian dunia (crimes against international peace), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), perompakan laut (piracy), pembajakan udara (hijacking), kejahatan terorisme (terrorism) dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya yang dinilai dapat membahayakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Dalam hubungan ini sering tidak dapat dihindari adanya persaingan yurisdiksi di antara berbagai Negara yang mempunyai kepentingan, yaitu antara Negara tempat terjadinya suatu tindak pidana seperti itu dengan Negara korban, dengan Negara tempat pelakunya atau mereka yang terlibat berada atau melarikan diri etc. Untuk dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksi terhadap tindak pidana seperti itu, maka Negara-negara yang merasa berkepentingan masing-masing seharusnya telah membuat peraturan-peraturan hukum nasional yang dapat digunakan untuk menangani tindak pidana seperti itu. Kasus Eichmann (Eichmann Case) dipandang sebagai tonggak awal lahirnya yurisdiksi universal. Sebagai Negara korban (the Victim State) pada masa Perang Dunia II, Israel membuat Undang-Undang yang mengatur mengenai kejahatan perang, kejahatan terhadap perdamaian dunia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama terhadap bangsa Yahudi. Dengan menerapkan undang-undang ini, Pengadilan Israel berhasil membuktikan kesalahan Eichmann sehingga pengadilan menjatuhkan putusan hukuman mati atas diri Eichmann yang kemudian menimbulkan kecaman dari berbagai kalangan soal keabsahan tindakan pengadilan dari Negara Yahudi yang baru bereksistensi beberapa tahun usai Perang Dunia II. Mereka ini mengatakan tindakan atau putusan pengadilan itu bertentangan dengan azas legalitas atau azas nullum delictum sebagai azas hukum pidana yang bersifat universal. =è Mahkamah Kriminal Internasional atau pengadilan internasional di Nuremberg dan Tokyo

(lazimnya dinamakan Peradilan Nuremberg serta Peradilan Tokyo) yang dibentuk oleh Negara-negara sekutu sebagai pemenang PD II berdasarkan perjanjian London (the London Agreement) tahun 1942. Tujuannya untuk mengadili serta menghukum mereka yang terbukti bersalah melakukan kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan terhadap perdamaian dunia, tanpa memperhatikan apapun kedudukan mereka. Mereka yang terbukti bersalah harus bertanggungjawab secara individual dan tidak dimungkinkan untuk berlindung di belakang Tanggungjawab Negara (State Responsibility). Namun demikian tidak sedikit dari mereka yang terlibat diadili serta dihukum oleh pengadilan nasional dari Negara setempat.

=è Selain perjanjian London, maka Genocide Convention tahun 1948 juga memuat yurisdiksi Negara menurut azas universal atau yurisdiksi universal (universal jurisdiction). Genocide Convention mengatur tentang pembunuhan massal atas sekelompok masyarakat atas dasar ras, etnis, warna kulit, keyakinan agama maupun politiknya. Mereka yang bersalah harus bertanggungjawab secara individual dan tidak boleh berlindung di belakang tanggungjawab Negara.

=è Pembentukan ICC (International Criminal Court) berdasarkan Statuta Roma tahun 1998 dan mulai berlaku sejak 1 Juli 2002. Yurisdiksinya mencakup pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights), seperti kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, kejahatan agresi dan berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan lainnya, seperti kejahatan terorisme etc. Mereka yang bersalah harus bertanggungjawab secara individual dan tidak bisa berlindung di balik kepentingan dan tanggungjawab Negara (state responsibility) tanpa memperhatikan kedudukan atau jabatan yang mereka emban. ICC bukan badan peradilan pada instansi pertama (the first resort), melainkan badan peradilan terakhir dari instansi terakhir (the last of the last resort) sehingga system peradilannya tidak menggerogoti kedaulatan dari Negara peserta ICC atau Negara peserta Statuta Roma. ICC hanya berfungsi sebagai pengadilan pelengkap terhadap pengadilan nasional atau pengadilan domestic sebab ICC mengutamakan penerapan upaya-upaya hukum setempat (exhaustion of local remedies). Selama Negara peserta ICC masih memiliki kemauan dan kemampuan untuk menyelesaikan sendiri kasus kejahatan kemanusiaan tersebut, maka ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili kasus kejahatan HAM berat yang terjadi di Negara yang bersangkutan.Yurisdiksi ICC juga hanya mencakup kasus kejahatan HAM berat yang terjadi setelah 1 Juli 2002 dan bukan sebelumnya. Bagaimana dengan ICTY (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslav), ICTR (International Criminal Tribunal for Rwanda) ? Pembentukan kedua tribunal internasional ini didasarkan atas ketentuan pasal 24 dan 25 Piagam PBB dan bukan atas Statuta Roma.

IMUNITAS TERHADAP YURISDIKSI NEGARA

Imunitas (Immunity) mengecualikan dan membebaskan mereka dari penerapan atau pelaksanaan yurisdiksi territorial Negara setempat sehingga disebut juga pengecualian atau pembebasan dari azas yurisdiksi territorial (exemption from territorial jurisdiction).

=è State immunity atau souvereign immunity (melekat pada Negara, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan (termasuk pejabat tinggi Negara atau pemerintahan). Azas-azas yang melandasi Souvereign Immunity : 1) Par in parem non habet imperium (suatu Negara berdaulat tidak dapat menjalankan kedaulatan terhadap Negara berdaulat lain; 2) Azas Resiprositas atau azas timbal balik (Reciprocity principle); Kasus Sultan Johor pada abad 19 : Pengadilan Inggeris menyatakan tidak berwenang untuk mengadili Sultan Johor yang digugat oleh seorang wanita Inggeris karena tergugat adalah seorang Sultan atau Raja atau Kepala Negara (memiliki kekebalan kedaulatan atau kekebalan sebagai kepala Negara) : a) Kerajaan Inggeris mengakui kerajaan Malaka sebagai Negara berdaulat (Par in parem non habet imperium); b) Raja Malaka (termasuk Sultan Johor) serta keluarganya menikmati kekebalan ketika berada di negeri Inggeris, sebagaimana halnya Raja Inggeris serta keluarganya menikmati kekebalan di negeri Malaka (Azas Resiprositas). Kasus Sultan Johor adalah kasus kekebalan dari yurisdiksi territorial yang menyangkut kekebalan dari proses hukum di Negara setempat.

=èNamun kekebalan dari yurisdiksi territorial tidak hanya menyangkut kekebalan dari proses hukum negara setempat, tetapi juga kekebalan dari eksekusi keputusan pengadilan setempat (harta kekayaan/ asset Negara asing tidak bisa disita, dieksekusi atau dilelang oleh aparat hukum Negara setempat). Kasus klasik yang dapat menjelaskan hubungan antara yurisdiksi territorial dan kekebalan kedaulatan adalah the Schooner Exchange v. Mc Faddon yang diputuskan oleh the US Supreme Court. Chief Justice Marshall menyatakan bahwa yurisdiksi suatu Negara di dalam wilayahnya sendiri bersifat eksklusif dan mutlak, tetapi tidak mencakup Negara asing (foreign sovereigns). Dia menyatakan bahwa kesamaan penuh (perfect equality) dan kemerdekaan mutlak (absolute independence) Negara-negara menimbulkan sekumpulan atau sejumlah kasus-kasus di mana setiap Negara berdaulat dianggap melepaskan pelaksanaan sebagian yurisdiksi territorial yang penuh dan eksklusif yang dinyatakan sebagai atribut setiap Negara. Dengan demikian kapal perang yang memasuki pelabuhan dari Negara sahabat, harus dianggap dikecualikan atau dibebaskan dari yurisdiksi negara sahabat. Aturan-aturan ini tidak akan berlaku pada kapal swasta (private ships) yang mudah tunduk pada yurisdiksi Negara lain ketika berada di luar negeri.

=è Pada abad 18 dan 19, berlaku konsep kekebalan mutlak (absolute immunity) di mana Negara sepenuhnya kebal atau memiliki kekebalan penuh dari yurisdiksi Negara lain dalam semua perkara tanpa melihat dan memperhatikan adanya keadaan-keadaan tertentu. Namun timbul masalah ketika Negara mulai terjun dalam kegiatan-kegiatan komersial sehingga banyak Negara melakukan modifikasi terhadap prinsip kekebalan mutlak. Adanya sejumlah badan-badan pemerintah dan perusahaan-perusahaan negara, industri-industri yang dinasionalisasi serta organ-organ negara lainnya merupakan reaksi terhadap prinsip kekebalan mutlak, sebagian disebabkan karena hal seperti ini memungkinkan perusahaan Negara (state enterprises) untuk mendapat keuntungan melebihi perusahaan swasta. Dengan demikian banyak Negara mulai menganut doktrin kekebalan terbatas (the restrictive immunity) yang tetap mengakui atau memberikan kekebalan apabila menyangkut kegiatan pemerintahan (governmental activity), tetapi apabila Negara melakukan kegiatan komersial (commercial activity) maka kekebalan tersebut tidak dapat diberikan. Tindakan pemerintah yang dilakukan demi untuk kepentingan public dan membuat kekebalan tetap diberikan disebut dengan istilah acts jure imperii, sementara tindakan pemerintah yang berkaitan dengan kegiatan komersial disebut dengan istilah acts jure gestionis.

Negara yang pada waktu tertentu menerapkan prinsip kekebalan absolute adalah Inggeris (United Kingdom), hal ini terbukti dalam sejumlah kasus penting, seperti the Parlement Belge Case. Dalam kasus ini the Court of Appeal menekankan bahwa prinsip yang dapat ditarik dari semua kasus sebelumnya adalah bahwa setiap Negara melalui pengadilan menolak menjalankan yurisdiksi teritorialnya terhadap pribadi dari setiap penguasa atau Duta Besar dari setiap Negara lain ataupun terhadap harta kekayaan dari setiap Negara yang digunakan bagi kepentingan public… meskipun pribadi penguasa, duta besar ataupun harta kekayaan itu berada di dalam yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya. Contoh paling ekstrim mengenai doktrin kekebalan absolute adalah kasus Porto Alexandre. Sebuah kapal Portugis yang diambilalih berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan Inggeris karena tidak membayar yuran atas pelayanan kapal penyeret (tug) dekat Liverpool. Kapal ini semata-mata melakukan private trading operations atau kegiatan dagang, tetapi pengadilan merasa terpaksa atas syarat-syarat dari prinsip the Parlement Belge untuk menolak kasus itu mengingat adanya kepentingan pemerintah Portugis.

=èDalam kasus Duff Development Company v. Kelantan

=è Sejumlah negara ternyata mulai mengadopsi pendekatan imunitas yang bersifat terbatas dengan memperkenankan adanya yurisdiksi terhadap tindakan-tindakan yang non-sovereign pada tahap yang relatif awal. Mahkamah Agung Austria pada tahun 1950 dalam sebuah survei yang bersifat komprehensif atas praktek negara- negara mengenai kekebalan terbatas berkesimpulan bahwa mengingat meningkatnya kegiatan negara-negara dalam bidang komersial, maka doktrin klasik tentang kekebalan mutlak kehilangan maknanya dan tidak lagi menjadi kaidah hukum internasional. Pada tahun 1952 di dalam Tate letter, Departemen Luar Negeri AS menyatakan bahwa meningkatnya keterlibatan pemerintah dalam kegiatan komersial seiring dengan berubahnya pandangan negara-negara asing terhadap absolute immunity berkontribusi terhadap perlunya sebuah perubahan dan bahwa Deplu AS akan mengikuti teori kekebalan kedaulatan yang bersifat terbatas (the restrictive theory of sovereign immunity). Doktrin kekebalan terbatas ini juga sudah diadopsi oleh pengadilan-pengadilan di AS, terutama sekali dalam kasus Victory Transport Inc.v. Comisaria General de Abasteciementos y Transportes. Dalam kasus ini, pengadilan, dalam hal Departemen Luar Negeri tidak memberikan saran mengenai imunitas para tergugat, suatu unit dari Kementerian Perdagangan Spanyol menegaskan adanya yurisdiksi karena pencarteran atau penyewaan (the chartering) sebuah kapal untuk mengangkut gandum tidak mutlak merupakan suatu tindakan politik atau publik. Pendekatan teori restriktif didukung oleh empat hakim Supreme Court dalam Alfred Dunhill of London Inc. v. Republic of Cuba.

*****Diplomatic Immunity….. Vienna Convention on Diplomatic Relations, 1961

=èKekebalan diplomatik melekat pada : diri pribadi pejabat diplomatik serta keluarganya, gedung perwakilan diplomatik, tempat kediaman pejabat diplomatik, arsip, surat menyurat, tas serta paket diplomatik.

=è Pribadi pejabat diplomatik memiliki kekebalan dari penerapan yurisdiksi teritorial negara penerima (the receiving state) dalam perkara pidana, administratif maupun perkara perdata. Namun kekebalan seorang pejabat diplomatik dapat dibatalkan, dihapuskan atau ditarik kembali oleh Pemerintah negara pengirim (the sending state) atau Kepala Perwakilan Diplomatik. Kekebalan diplomatik bukan merupakan hak istimewa atau hak prerogatif (praerogative right) dari pejabat diplomatik ybs, melainkan sesungguhnya merupakan kekebalan negara pengirim atau kekebalan pemerintahnya sehingga kekebalan tersebut hanya dapat dibatalkan oleh Pemerintah negara pengirim dan tidak mungkin dapat dibatalkan sendiri oleh pejabat diplomatik ybs tanpa persetujuan negara pengirimnya.

=è Fungsi Perwakilan Diplomatik / Pejabat Diplomatik: representing, negotiating,protecting, promoting, reporting and ascertaining;

=è Kewajiban pejabat diplomatik :a) mematuhi peraturan-peraturan hukum di negara penerima; b) tidak mencampuri urusan dalam negeri negara penerima.

=è Pelanggaran oleh pejabat diplomatik terhadap peraturan-peraturan hukum setempat, termasuk melakukan tindak pidana berat ataupun mengganggu ketertiban serta membahayakan keamanan negara penerima tetap membebaskan pejabat ybs dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial atau kekuasaan hukum negara penerima. Namun pejabat diplomatik ybs dapat dikenai pernyataan persona non grata oleh Pemerintah negara penerima walaupun pernyataan persona non grata itu sendiri dapat saja dilakukan sebelum ybs menjalankan tugasnya di negara penerima. Pernyataan Persona non grata merupakan terobosan terhadap kekebalan diplomatik yang dapat dilakukan oleh negara penerima dalam usaha menghormati dan mematuhi azas kekebalan diplomatik yang membebaskan pejabat diplomatik ybs dari yurisdiksi teritorial dan sekaligus juga memulihkan serta mempertahankan martabat (dignity) atau kedaulatan negara penerima.

=è Pernyataan persona non grata membawa konsekuensi bahwa orang ybs harus meninggalkan negara penerima dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Pemerintah negara setempat dan dia harus kembali ke negara asalnya, negara penerima.

=è Walaupun kekebalan diplomatik membebaskan pejabat diplomatik dari pelaksanaan kekuasaan hukum setempat (yurisdiksi teritorial negara penerima) ketika terlibat dalam tindak pidana berat, namun setelah dipersonanongratakan oleh negara penerima dan kembali ke negara pengirim, dia tidak dibebaskan dari tanggungjawab hukum (legal liability) di negara asalnya atau di negara pengirim. Negara pengirim wajib menuntut pertanggungjawaban dari orang ybs atas kesalahan yang dilakukannya di negara penerima.

=è Berbagai kasus persona non grata :

1) Pejabat diplomatik asing yang dipersonanongratakan oleh Pemerintah RI :

*** Kasus Diplomat Uni Soviet (SP Egorov) 9 Januari 1982 …Mencampuri urusan domestik Indonesia.

*** Kasus dua Diplomat AS tahun 1994… tindak pidana berat (sindikat narkoba);

*** Bagaimana dengan Kasus Namru (Naval American Medical Research Unit) yang ditempatkan sebagai bagian dari Kedubes AS dan diakui kekebalannya oleh Pemerintah RI ?

2) Pejabat diplomatik Indonesia yang dipersonanongratakan di negara lain (negara penerima) :

*** Kasus Leo Lopulisa (Dubes RI untuk Philipina pada tahun 1980-an);…mencampuri urusan domestik Philipina);

*** Kasus Gading Gajah …tindak pidana penyelundupan gading gajah;

*** Kasus Nana Sutresna (Dubes RI untuk Kerajaan Inggeris)…puteranya tersangkut dalam tindak pidana narkoba… persona non grata terselubung. Walaupun Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik tidak menyebut mengenai persona non grata yang bersifat terselubung (implied) karena persona non grata harus dinyatakan secara tegas, hal seperti ini dapat dikemas dalam cara dan alasan yang legal terkait dengan penarikan kembali Dubes Nana Sutresna dari Inggeris beberapa tahun lalu.

=è Seorang pejabat diplomatik dapat dilepaskan kekebalannya dalam hal ybs tersangkut perkara perdata akibat tindakan yang dilakukannya bersifat pribadi dan untuk kepentingan pribadinya dan bukan dalam kapasitasnya sebagai pejabat diplomatik. Wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum yang dilakukan dapat dipakai sebagai alasan oleh siapapun yang merasa dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata serta menuntut gantirugi dari pejabat diplomatik ybs. Namun gugatan perdata hanya dapat diproses oleh pengadilan setempat apabila sudah terjadi penghapusan kekebalan (waiver of immunity). Waiver of immunity atau penghapusan kekebalan terhadap diplomat ybs harus dilakukan secara tegas atau tertulis sebab hanya dengan cara seperti itu proses pemeriksaan perkara perdata dapat dijalankan oleh pengadilan setempat sebagai pelaksanaan yurisdiksi teritorial negara setempat.

=è Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan setempat tidak langsung dapat dieksekusi sebab untuk mengeksekusi atau melaksanakan putusan pengadilan dibutuhkan penghapusan kekebalan dari eksekusi secara tersendiri. Inilah yang dinamakan separate waiver.

=è Mengenai kekebalan konsuler (Consular Immunity)--- pengaturannya dalam Konvensi Wina mengenai hubungan konsuler 1963 (The Vienna Convention on Consular Relations 1963). Para Konsul mewakili negaranya dalam banyak bidang administratif, misalnya mengeluarkan visa dan paspor (visas and passports) dan pada umumnya mempromosikan kepentingan negara pengirimnya dalam bidang komersial. Mereka ditempatkan tidak hanya di ibukota negara penerima, tetapi juga di banyak kota besar penting dari suatu provinsi. Fungsi politiknya hanya sedikit sehingga konsul tidak diberikan tingkat kekebalan yang sama terhadap yurisdiksi seperti pejabat diplomatik (diplomatic agent) harus mempunyai sebuah komisi yang berasal dari negara pengirim serta negara penerima. Konsul berhak atas pengecualian sama dari kewajiban dalam bidang pajak serta bea cukai sebagaimana halnya dengan diplomat.

***Pasal 31 dari Konvensi Wina 1963 menekankan bahwa gedung-gedung perwakilan konsuler (consular premises) tidak dapat diganggugugat (inviolable) serta tidak dapat dimasuki oleh otoritas negara penerima tanpa persetujuan dari Kepala perwakilan konsuler. Sebagaimana dengan gedung perwakilan diplomatik (diplomatic premises), maka gedung konsuler harus dilindungi melawan serangan dan gangguan atas martabat (dignity); arsip dan dokumen juga memiliki kekebalan serupa serta gedung konsuler dibebaskan dari pajak.

*** Pasal 41 menetapkan bahwa para petugas konsuler tidak dapat ditangkap atau ditahan kecuali terbukti terlibat dalam tindak pidana berat yang diputuskan oleh pengadilan yang berwenang. Jika proses pemeriksaan kasus kriminal ini mulai berjalan, maka konsul itu harus tampil di depan otoritas yang berwenang. Proses persidangan tersebut harus dilakukan dengan cara yang menghormati kedudukannya sebagai seorang konsul (official position) serta memperkecil hal-hal yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas-tugas konsuler. Berdasarkan ketentuan pasal 43 kekebalannya dari yurisdiksi dibatasi baik dalam masalah pidana maupun perdata pada tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam menjalankan tugas-tugas resmi sebagai konsul.

=è Mengenai kekebalan dari Misi Khusus (Special Missions) terdapat pengaturannya dalam The Convention on Special Missions 1969. Dalam banyak hal negara-negara akan atau dapat mengirim dan mengutus misi khusus atau misi ad hoc ke negara-negara tertentu untuk membicarakan suatu isu yang telah ditentukan di samping mempercayakannya kepada staff perwakilan diplomatik dan konsuler yang sifatnya permanen. Dalam keadaan demikian utusan khusus (special missions) entah semata-mata bersifat teknis atau secara politis penting dapat mengandalkan adanya kekebalan-kekebalan tertentu yang pada dasarnya berasal (derived from) dari Konvensi-Konvensi Wina dengan cara menggunakan analogi disertai modifikasi seperlunya. Berdasarkan ketentuan pasal 8 dari the Convention on Special Missions 1969, negara pengirim harus membiarkan negara penerima (the host state) mengetahui besarnya (size) serta komposisi dari misi tersebut, sementara menurut pasal 17 misi tadi harus hadir di suatu tempat yang disetujui oleh negara-negara yang bersangkutan atau di Kementerian Luar Negeri dari negara penerima.

Berdasarkan ketentuan pasal 31 para anggota dari special missions tidak memiliki imunitas menyangkut klaim yang timbul dari suatu kecelakaan akibat suatu kendaraan yang digunakan di luar tugas resmi dari orang ybs dan berdasarkan ketentuan pasal 27 maka kebebasan bergerak dan bepergian yang diperkenankan hanyalah kebebasan bergerak dan bepergian yang diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi dari misi khusus.

=è Mengenai kekebalan perwakilan negara-negara pada suatu Organisasi Internasional, dapat dilihat dalam the Vienna Convention on the Representation of States in their Relations with International Organizations, 1975. Perjanjian ini berlaku terhadap perwakilan negara-negara pada suatu organisasi internasional yang bersifat universal tanpa memperhatikan ada tidaknya hubungan diplomatik antara negara pengirim (sending state) dengan negara setempat (host state). Terdapat banyak kemiripan (similarities) antara Konvensi Wina 1975 dengan Konvensi Wina 1961. Misalnya berdasarkan pasal 30 staff diplomatik menikmati kekebalan penuh (complete immunity) dari yurisdiksi kriminal dan kekebalan dari yurisdiksi sipil dan administratif dalam semua hal (in all cases), terkecuali untuk kekecualian yang sama yang ditentukan dalam pasal 31 dari Konvensi Wina 1961. Staff bidang administratif, teknis dan dinas pelayanan (service) posisinya sama sebagaimana diatur dalam Vienna Convention 1961. Gedung perwakilan (the mission premises) negara pengirim pada suatu organisasi internasional yang berada di negara setempat tidak bisa diganggugugat (inviolable) serta dibebaskan dari kewajiban perpajakan oleh negara setempat, sementara arsip, dokumen serta korespondensi juga tidak bisa diganggugugat oleh aparat negara setempat.

=è Mengenai kekebalan dari Organisasi Internasional, dapat dikemukakan sebagai berikut. Sejauh menyangkut kaidah-kaidah kebiasaan posisi organisasi internasional jauh dari jelas dan diatur melalui perjanjian yang mengatur imunitas bagi lembaga-lembaga internasional yang ditempatkan di dalam wilayah negara setempat. Kekebalannya dapat diatur melalui perjanjian apabila secara fungsional kekebalan tersebut diperlukan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dari organisasi atau lembaga internasional itu. Agaknya contoh paling penting di dalam konvensi yang bersifat umum mengenai kekebalan dan hak-hak istimewa PBB tahun 1946, yang menetapkan kekebalan PBB serta para personilnya dan menekankan prinsip inviolability pada gedung organisasi internasional, arsip dan dokumen.

=è Mengenai penghapusan kekebalan (waiver of immunity), berdasarkan ketentuan pasal 32 dari Vienna Convention 1961, negara pengirim dapat menghapuskan kekebalan yurisdiksi dari orang yang berhak atas kekebalan meskipun penghapusan itu harus selalu dilakukan secara tegas. Apabila seseorang yang mempunyai kekebalan memulai suatu perkara (initiates proceedings), dia tidak bisa mengklaim kekebalan menyangkut suatu tuntutan balik (any counterclaim) yang terkait langsung dengan tuntutan pokok (the principal claim). Penghapusan kekebalan yurisdiksi menyangkut perkara perdata atau administratif tidak boleh dilakukan sehingga memuat penghapusan kekebalan menyangkut pelaksanaan putusan (the execution of the judgment). Penghapusan kekebalan eksekusi putusan memerlukan penghapusan tersendiri (separate waiver).

=è Kekebalan kedaulatan (sovereign immunity) juga dapat dihapuskan. Section 2 dari the State Immunity Act of 1978 menetapkan hilangnya kekebalan (the loss of immunity) atas dasar penyerahan sengketa kepada yurisdiksi pengadilan baik melalui perjanjian tertulis yang dibuat sebelum timbulnya sengketa maupun sesudahnya. Suatu negara dianggap sudah menyerahkan kepada yurisdiksi pengadilan kalau negara ybs memulai atau campur tangan dalam perkara di pengadilan (terkecuali dia mengklaim kekebalan semata-mata). Jika suatu negara menyerahkan sengketa kepada yurisdiksi pengadilan, maka dia dianggap telah menyerahkan kepada yurisdiksi pengadilan setiap tuntutan balik (any counter claim) yang timbul dari hubungan atau fakta hukum yang sama dengan tuntutan atau gugatan tersebut. Suatu ketentuan dalam suatu persetujuan bahwa hal itu harus diatur dengan hukum Inggeris tidak boleh dianggap sebagai suatu penyerahan sengketa kepada pengadilan (submission).

Berdasarkan section 9 dari the State Immunity Act of 1978, apabila suatu negara sepakat secara tertulis untuk menyerahkan kepada sebuah arbitrasi suatu persengketaan (tetapi bukan sengketa antarnegara, inter-state dispute) yang sudah timbul atau mungkin timbul, maka negara ybs tidak kebal apabila menyangkut sidang perkara di pengadilan Inggeris terkait dengan arbitrasi.

AS dengan FSIA (The Foreign Souvereign Immunity Act) 1976 juga membuat pembedaan (distinction) act of state atas apa yang dinamakan jure imperii serta jure gestionis. Tindakan negara dalam kualifikasi jure imperii adalah tindakan yang dilakukan negara atau pemerintah dengan tujuan untuk mewujudkan kepentingan publik atau tindakan yang sifatnya publik. Sedangkan tindakan negara dalam kualifikasi jure gestionis adalah tindakan yang dilakukan negara atu pemerintah dengan tujuan untuk mencapai kepentingan komersial. Tindakan negara dalam kualifikasi jure imperii, sekalipun membawa kerugian terhadap AS (termasuk warganegaranya) masih tetap diakui kekebalannya di depan pengadilan nasional AS, sementara tindakan negara dalam kualifiasi jure gestionis, apabila membawa kerugian terhadap AS (termasuk warganegaranya), tidak diakui kekebalannya di depan pengadilan nasional AS. Kasus gugatan organisasi serikat buruh AS melawan negara-negara pengekspor minyak (OPEC) memperkuat pembedaan tindakan negara berdasarkan doktrin act of state (jure imperii serta jure gestionis).

TANGGUNGJAWAB NEGARA (STATE RESPONSIBILITY) :

Azas hukum internasional yg bersifat fundamental yg timbul dr hakekat hukum internasional dan doktrin kedaulatan negara dan persamaan negara-negara. Bilamana st negara melakukan st perbuatan yg salah secara internasional (internationally wrongful act/unlawful act) thd negara lain, maka tidak dapat dihindari adanya tanggungjawab internasional./Jika st negara dgn perbuatan (tindakan ataupun kelalaian) melanggar kewajiban internasional, mk negara tsb memikul tanggungjawab internasional. Jika pelanggaran ini menimbulkan kerugian bg negara lain, mk negara yg melakukan pelanggaran bertanggungjawab utk membayar gantirugi atau meminta maaf kpd negara yg dirugikan. Dgn demikian unsur-unsur tanggungjawab negara adl :1) adanya kewajiban hukum internasional yg berlaku di antara dua negara ttt; 2) adanya perbuatan (tindakan atau kelalaian) yang merupakan pelanggaran kewajiban itu yg dapat dikaitkan dgn negara ybs;3)adanya kerusakan atau kerugian akibat perbuatan itu.

Konsep ttg tanggungjawab negara akibat pelanggaran kewajiban internasional dan kewajibannya utk membayar gantirugi atas kerugian yg diderita negara lain tercermin dalam yurisprudensi internasional dan rancangan kodifikasi Den Haag terkait tanggungjawab negara (the ILC draft articles on state responsibility). PCIJ dalam the Chorzow Factory Case menyatakan : adl azas hukum internasional dan bahkan azas hukum umum bahwa setiap pelanggaran perjanjian menimbulkan perbaikan (membayar gantirugi). Hal ini ditegaskan kembali dlm pasal 1-3 dr ILC Draft :àsetiap perbuatan yg salah secara internasional menuntut adanya pertanggungjawaban;

ànegara harus bertanggungjawab secara internasional apabila melakukan perbuatan yang salah secara internasional;

ànegara melakukan perbuatan yg salah secara internasional apabila a) perbuatan (action atau omission) dpt dikaitkan dgn negara berdasarkan hukum internasional;b)perbuatan tsb merupakan pelanggaran kewajiban internasional.

èperbuatan yg salah secara internasional (internationally wrongful act) dibedakan atas :a) international crime; b) international delict.

Pelanggaran kewajiban internasionalàperbuatan yg salah secara internasional. Apabila pelanggaran yg dilakukan adl pelanggaran thd kewajiban internasional yang demikian penting (essential) dalam melindungi kepentingan fundamental bagi masyarakat internasional secara keseluruhan, mk dikualifikasi sbg kejahatan internasional (international crime), spt tindakan agresi, genosida etc. Sedangkan pelanggaran kewajiban internasional lainnya yang tidak termasuk kedalam international crime dinamakan international delict.

èMasalahnya adl apakah negara dpt dipertanggungjawabkan dan dituntut pertanggungjawabannya dr segi hukum pidana. Ian Brownlie : konsep tanggungjawab negara dr segi hukum pidana tidak mempunyai nilai hukum dan pada dasarnya tidak dpt dibenarkan dan dipertanggungjawabkan. Meskipun konsep ini dapat digunakan dlm bidang politik dan moral, namun hal ini adl sia-sia saja sebab tanggungjawab negara dibatasi pd kewajiban utk membayar gantirugi. Kendati ada kemungkinan menentukan sanksi pidana terhadap negara ybs, namun penerapannya dpt menciptalkan ketidakstabilan (instability). Namun demikian ada juga yg berpendapat lain dengan menyatakan bahwa sejak tahun 1945 terjadi perubahan sikap negara-negara terhadap kejahatan-kejahatan ttt sedemikian rupa sehingga kejahatan-kejahatan itu menjadi masalah hukum internasional. Perubahan-perubahan yang terjadi sejak tahun 1945 adl sbb :a) berkembangnya konsep jus cogens (azas-azas hukum internasional umum yang tidak memperkenankan negara-negara utk melakukan penyimpangan); b) timbulnya tanggungjawab kriminal yang secara langsung dibebankan pada individu berdasarkan hukum internasional (individual responsibility); c) Piagam PBB yang memberikan wewenang kepada Dewan Keamanan dalam melakukan penegakan hukum dengan menjatuhkan sanksi terhadap negara yg terbukti mengancam dan membahayakan perdamaian serta keamanan internasional ataupun menciptakan situasi yg dapat membahayakan misi dan tujuan PBB.

àPelanggaran internasional yang mengakibatkan timbulnya tanggungjawab negara dapat berasal dari 1) pelanggaran terhadap kewajiban internasional sebagaimana diatur dalam st perjanjian internasional, dan 2) pelanggaran terhadap kewajiban internasional berdasarkan azas-azas hukum umum serta hukum kebiasaan internasional. Pelanggaran terhadap perjanjian internasional yang menimbulkan tanggungjawab negara dapat dilihat dalam putusan PCIJ sehubungan dengan sengketa antara Jerman dan Polandia dalam the Chorzow Factory Case pd tahun 1920-an. Pelanggaran thd kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian internasional serta menimbulkan kerugian thd negara lain mewajibkan negara yang menimbulkan kerugian tsb utk mengadakan perbaikan, yaitu membayar gantirugi. Sedangkan pelanggaran thd kewajiban internasional berdasarkan kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional yang menimbulkan tanggungjawab negara dapat ditemukan dalam putusan ICJ terkait sengketa antara Inggeris dan Albania dalam kasus Selat Corfu (the Corfu Channel Case) tahun 1949.

àNegara pada prinsipnya hanya bertanggungjawab atas perbuatan yang salah secara internasional (pelanggaran internasional). Akan tetapi negara juga dapat bertanggungjawab atas tindakan sah (lawful acts), namun tindakan ini merugikan negara lain. Inilah yang disebut penyalahgunaan hak (abuse of rights) yg mengakibatkan timbulnya tanggungjawab negara. Negara harus bertanggungjawab atas perbuatan yang dikategorikan sbg penyalahgunaan hak. Larangan bagi setiap negara utk menyalahgunakan haknya telah diakui sbg st azas hukum umum yg diakui oleh bangsa-bangsa beradab. Prinsip ini penting bagi Mahkamah internasional untuk diterapkan dalam kasus-kasus menyangkut tanggungjawab negara.

àSelanjutnya karena negara yang melakukan pelanggaran internasional pada prinsipnya hanya dapat dituntut pertanggungjawabannya dari segi hukum perdata, khususnya dari segi tuntutan gantirugi atas kerugian akibat pelanggaran tsb, maka persoalannya adl sejauh mana negara korban dapat menuntut pertanggungjawaban dari negara yang menimbulkan kerugian tsb ? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mempergunakan dua macam pendekatan atau prinsip. Prinsip pertama dinamakan prinsip tanggungjawab obyektif atau disebut prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability principle). Prinsip kedua yang dinamakan prinsip tanggungjawab subyektif atau prinsip tanggungjawab yang didasarkan atas kesalahan (fault liability principle).

Dengan azas tanggungjawab mutlak, ketika terjadi perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian serta dilakukan oleh seorang pejabat negara, maka negara tersebut harus bertanggungjawab menurut hukum internasional kepada negara yang menderita kerugian. Negara korban tidak perlu membuktikan ada tidaknya kesalahan dari negara yang melakukan pelanggaran sebab begitu terjadi kerugian maka negara yang melakukan pelanggaran bertanggungjawab secara mutlak. Sebaliknya azas tanggungjawab berdasarkan kesalahan (Fault Liability), negara korban dibebani dengan kewajiban untuk membuktikan adanya kesalahan dari negara yang telah menimbulkan kerugian akibat pelanggaran yang telah dilakukannya. Pertanyaannya adalah azas tanggungjawab mana yang dianut, apakah strict liability ataukah liability based on fault ? Walaupun pada umumnya negara-negara cenderung menganut pendekatan strict liability, namun berbagai kasus menunjukkan bahwa tidak satupun prinsip pertanggungjawaban itu berlaku secara terus menerus. Misalnya saja, dalam kasus yang dinamakan “the Neer Claim” tahun 1926, seorang warganegara AS yang bekerja sebagai pengawas pertambangan Meksiko tertembak mati di negara itu. Atas nama keluarga korban, yaitu isteri serta saudara perempuannya, AS menuntut gantirugi dengan alasan penyelidikan peristiwa tersebut oleh para pejabat Meksiko berjalan amat lamban. Namun Komisi yang dibentuk oleh AS dan Meksiko, yaitu the General Claim Commission yang diberi kewenangan untuk menangani kasus tersebut menolak tuntutan gantirugi dengan cara menerapkan dan menggunakan the objective test. Meksiko sebagai pihak yang dituntut pertanggungjawaban dapat membuktikan dirinya tidak bersalah sebab kerugian yang dialami pihak AS bukan karena lambannya penyelidikan kasus kematian warga AS oleh aparat Meksiko.

Selanjutnya dalam kasus yang dinamakan “the Caire Claim”, pihak berwenang, yaitu “The French Mexican Claim Commission” berpendapat bahwa Meksiko harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita Perancis sesuai dengan azas pertanggungjawaban yang bersifat mutlak (strict liability). Kasus antara Perancis dan Meksiko timbul karena warganegara Perancis ditembak oleh tentara Meksiko yang mau melakukan pemerasan terhadap orang Perancis ini.

Seterusnya dalam kasus “the Home Missionary Society Claim” (antara AS dan Inggeris) tahun 1920, Mahkamah menerapkan doktrin pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault). Mahkamah menolak tuntutan AS (sebagai wakil dari komunitas misionaris) untuk mendapatkan gantirugi atas kerugian yang dialami AS (kerugian harta benda dan tewasnya para misionaris ketika timbul pemberontakan di daerah protektorat Inggeris di Sierra Leone). Pemerintah Inggeris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan para pemberontak karena Inggeris terbukti tidak lalai dalam menumpas pemberontakan yang terjadi sesudah Inggeris memberlakukan aturan pajak pemondokan di daerah protektoratnya.

Dalam kasus Corfu Channel (the Corfu Channel Case) antara Inggeris dan Albania, Mahkamah internasional cenderung menerapkan azas pertanggungjawaban yang didasarkan atas kesalahan (fault liability principle). Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan Mahkamah yang antara lain menyatakan bahwa walaupun menurut kaidah hukum kebiasaan internasional negara pantai mempunyai kewajiban untuk menjamin keamanan berlayar di laut teritorial (termasuk di Selat Corfu) dan harus memberitahukan adanya bahaya-bahaya yang terdapat di jalur laut teritorialnya, namun hal ini tidak berarti bahwa negara pantai harus mengetahui adanya peristiwa pemasangan ranjau di Selat Corfu yang merupakan laut teritorial Albania, demikian pula dengan pelaku pemasangan ranjau tersebut.

èMengenai Doktrin Imputability (the Imputability Doctrine), munculnya karena negara adalah st kesatuan abstrak yang dalam melakukan perbuatan (action or omission) harus dilakukan melalui organ, wakil atau pejabatnya baik yg berada di pusat maupun daerah. Demikian doktrin imputability mengatakan bahwa perbuatan baik berupa tindakan ataupun kelalaian yang dilakukan oleh organ atau pejabat negara, dipersamakan dengan perbuatan dari negara itu sendiri (act of state). Apabila perbuatan yang dilakukannya merupakan st pelanggaran, maka negara ybs harus bertanggungjawab. Agar supaya negara bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh organ atau pejabatnya baik yang berada di pusat maupun di daerah, maka harus dipenuhi unsur-unsur sbb : 1) perbuatan yang dilakukan oleh organ atau pejabat negara adl sesuai dengan kapasitas atau kewenangannya sebagaimana diatur di dalam hukum nasional dari negara ybs. 2) perbuatan tersebut menimbulkan atau merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional; 3) perbuatan yg merupakan pelanggaran tersebut dapat dikaitkan dengan negara ybs menurut kaidah-kaidah hukum internasional.

ILC Draft menjadi pedoman dalam praktek negara-negara menyangkut tanggungjawab negara walaupun ILC Draft bukan merupakan st perjanjian internasional. Artikel-artikel atau pasal-pasalnya a.l. menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh organ negara dalam kedudukannya sebagai organ negara menurut hukum nasional harus dianggap sebagai perbuatan negara (act of state) apabila organ negara atau pejabat negara bertindak sesuai dengan kewenangannya berdasarkan hukum nasional. Apabila perbuatan yg dilakukannya menimbulkan pelanggaran internasional dan dapat dihubungkan dengan negara ybs menurut hukum internasional, maka negara ybs harus bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh organ atau pejabatnya. Demikan pula dengan perbuatan yang dilakukan oleh organ atau pejabat dari kesatuan pemerintah teritorial (dalam hal ini pemerintah daerah (provinsi atau kabupaten) dalam kedudukannya sbg organ atau pejabat pemerintah daerah, harus dianggap dan dipersamakan dengan perbuatan negara (act of state) asal saja perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan batas-batas kewenangannya berdasarkan hukum nasionalnya. Apabila perbuatannya merupakan pelanggaran internasional dan dapat dikaitkan dengan negaranya, maka negara ybs harus bertanggungjawab.

Lalu bagaimana dengan negara bagian dalam suatu negara federal, juga bagaimana dengan daerah protektorat dari negara pemilik protektorat (the protecting state) ? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan memakai pendapat ILC dalam laporannya kepada Majelis Umum PBB pada tahun 1974. Menurut Komisi Hukum Internasional, perbuatan yg dilakukan oleh organ atau pejabat dari st negara bagian dalam negara federal harus dianggap atau dipersamakan dengan perbuatan dari negara federal (atau dari pemerintah negara federal) itu sendiri. Demikian pula perbuatan dari organ atau pejabat dari pemerintah negara federal juga harus dianggap atau dipersamakan dgn perbuatan dari negara federal. Selanjutnya perbuatan yg dilakukan oleh organ atau pejabat dari st daerah protektorat, harus dianggap atau dipersamakan dengan perbuatan dari negara pemiliknya (the protecting state). Apabila perbuatan yang dilakukannya merupakan pelanggaran internasional serta menimbulkan kerugian terhadap negara lain, maka negara federal (pemerintah negara federal) yang harus bertanggungjawab sebab masalah luar negeri atau hubungan internasional menjadi wewenang dan tanggungjawab dari Pemerintah Pusat atau negara federal ybs. Demikian juga dengan perbuatan yg dilakukan oleh daerah protektorat, ketika merupakan pelanggaran internasional serta menimbulkan kerugian terhadap negara lain, maka negara pemiliknya (the protecting state) yang harus bertanggungjawab serta berkewajiban utk membayar gantirugi atas kerugian yg diderita negara lain.

è Negara bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh organ atau pejabatnya yg bertindak sesuai dengan batas-batas kewenangan ataupun yg bertindak melampaui batas-batas kewenangan berdasarkan hukum nasionalnya. Walaupun organ negara atau pejabat negara bertindak melampaui batas-batas kewenangan sbgmn diatur dalam hukum nasionalnya, negara ybs tetap harus bertanggungjawab. Ketentuan atau prinsip yang terdapat dalam ILC Draft berasal dari sebuah kasus yg pernah melibatkan AS dan Meksiko yg dalam referensi internasional dikenal dengan kasus Youman (Youman’s Case) yg juga terjadi pada th 1920-an.

è Pada prinsipnya Negara hanya bertanggungjawab atas perbuatan entah berupa tindakan ataukah kelalaian yg dilakukan oleh organ atau pejabatnya baik yg berada di pusat maupun di daerah. Negara juga pada dasarnya tidak bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Namun dalam keadaan-keadaan ttt, negara dapat bertanggungjwab atas perbuatan yg dilakukan oleh individu, khususnya apabila individu ybs bertindak atas nama negara atau menjalankan unsur-unsur kekuasaan pemerintahan. Prinsip ini tercantum secara jelas dalam pasal 10 dari the ILC Draft, di mana pasal ini bersumber dari st kasus yang dinamakan “the Zafiro Case” yg diputuskan oleh Pengadilan AS di Filipina dalam perkara yg terjadi antara AS dan Inggeris.

è Kasus Pendudukan Gedung Kedubes AS serta Penyanderaan para Diplomat AS di Iran : Mahkamah Internasional menyatakan bahwa

\

*** EKSTRADISI***

èPengertiannya :

- Oppenheim : ekstradisi adl penyerahan seorang tertuduh atau terhukum oleh suatu negara di wilayah mana ia suatu waktu berada kepada negara tempat ia disangka melakukan kejahatan atau telah dihukum atas dasar kejahatan yang dilakukannya.

- Harvard Research Draft Convention on Extradition : Ekstradisi adl penyerahan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain seseorang guna penuntutan atau dijatuhi hukuman.

- Starke : Ekstradisi adl suatu proses di mana berdasarkan suatu perjanjian atau atas dasar timbal balik suatu negara menyerahkan kepada negara lain, atas permintaan negara terakhir ini, seseorang yang dituduh atau dihukum karena suatu tindak pidana yang melanggar hukum dari negara peminta yang berwenang mengadili orang yang diserahkan.

èEkstradisi harus dibedakan dari persona non

grata serta deportasi (deportation).

èAzas-azas hukum internasional mengenai ekstradisi : Ada dua faktor yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum permohonan ekstradisi diajukan lewat saluran diplomatik : 1) adanya orang yang harus diserahkan (extraditable person); 2) adanya kejahatan yang dapat diserahkan (extraditable offence/crime).

àMengenai adanya orang yang dapat diserahkan, maka praktek negara-negara menunjukkan bahwa pada umumnya negara yang meminta ekstradisi memperoleh orang yang dimintanya apabila dia adl warganegara dari negaranya sendiri (warganegara dari negara yang meminta ekstradisi) atau warganegara dari negara ketiga. Sebaliknya apabila orang yang diminta adalah warganegara dari negara yang dimintai ekstradisi, maka negara ini

lazimnya tidak akan menyerahkan warganegaranya sendiri yang berada ataupun melarikan diri ke negara asalnya. Negara yang dimintai ekstradisi p.u. tidak terikat untuk menyerahkan warganegaranya sendiri kepada negara yang meminta ekstradisi. Kasus dua warganegara Libya (tersangka pelaku pengeboman di Lokerbi, Skotlandia yang menewaskan sekitar 100 orang dari beberapa negara, terutama dari AS) yang diserahkan dan diekstradisi oleh Pemerintahnya sendiri kepada ICC di Den Haag beberapa tahun lalu. Peristiwa penyerahan ini harus dilihat sebagai suatu

dukungan negara Libya terhadap yurisdiksi ICC terkait kejahatan kemanusiaan, khususnya kejahatan terorisme karena negara tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk menjalankan proses peradilan berdasarkan ketentuan-ketentan hukum yang berlaku di negara itu. Namun di balik peristiwa ekstradisi oleh pemerintah Libya terhadap dua orang warganya, tidak dapat diingkari adanya kepentingan negara tersebut dari segi politik dan terutama dari segi ekonomi sehingga pemerintah Libya yang dipimpin Presiden Moammar Khadafi mengambil keputusan yg mengejutkan dengan mengekstradisi warganegaranya sendiri untuk menjalani proses peradilan melalui ICC dan secara bersamaan memperlihatkan dukungannya pada Statuta Roma mengenai pembentukan ICC. Hal ini juga mengindikasikan bahwa azas ekstradisi mengenai non-extradition of nationals bukan sesuatu yg absolut dan sakral, tetapi ternyata dapat dikesampingkan oleh negara yang dimintai ekstradisi. Negara yang dimintai ekstradisi tidak berkewajiban utk mengekstradisi warganegaranya sendiri, tetapi dari sisi lain negara ybs juga tidak dilarang utk mengekstradisinya. Kalau negara yg dimintai ekstradisi tidak menyerahkan warganegaranya sendiri, berarti negara ybs menjalankan tindakan perlindungan terhadap orang ybs. Sebaliknya kalau negara yg dimintai ekstradisi menyerahkannya kpd negara yg meminta ekstradisi, berarti kepentingan perlindungan yg menjadi hak warganegaranya harus mengalah pada kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan karena penyerahan warganegara oleh negaranya sendiri sebagai negara yg dimintai ekstradisi adl merupakan pelaksanaan dari kepentingan nasionalnya sendiri. Hal ini juga berarti bahwa azas non extradition of nationals bukan azas yg absolute, melainkan dapat dikesampingkan atas pertimbangan kepentingan yg lebih besar oleh negara yg dimintai ekstradisi. Demikian penjelasan ttg orang yg dpt

diserahkan sbg unsur ekstradisi yg menekankan adanya azas yg dinamakan non-extradition of nationals.

àSelanjutnya mengenai unsur kedua, yaitu adanya kejahatan yg dpt diserahkan (extraditable offence). Tidak semua kejahatan merupakan kejahatan yg dpt diserahkan. Berdasarkan apa yg dilakukan oleh banyak negara, ternyata terdapat kesepakatan utk tidak menyerahkan 1) kejahatan politik (non-extradition of political offences), dalam hal ini pelaku kejahatan politik; 2) kejahatan militer (prajurit yg sedang bertugas dlm peperangan atau konflik bersenjata melarikan diri yg disebut dgn istilah

disersi), dalam hal ini pelaku kejahatan seperti ini juga tidak dapat diserahkan; 3) kejahatan agama, dalam hal ini pelaku atau mereka yg dianggap melakukan kejahatan seperti ini tidak dapat diekstradisi. Mereka yg telah melakukan kejahatan politik di negerinya kemudian melarikan diri ke st negara lain, walaupun diminta oleh negara asalnya, maka biasanya negara yg dimintai ekstradisi tidak akan menyerahkannya. Ketentuan ini berkembang sejak Revolusi Perancis dan sebelumnya belum dikenal istilah kejahatan politik maupun azas utk tidak menyerahkan pelaku kejahatan seperti itu. Istilah political crime utk pertama kalinya muncul dalam Konstitusi Perancis (artikel 120) yg menyebutkan bahwa Perancis akan memberikan asylum bg org asing yg terpaksa meninggalkan negeri asalnya (home country) dgn alasan utk memperjuangkan kemerdekaan negerinya. Mengenai apa yang diartikan dgn political crime dalam arti sesungguhnya, maka masing-masing negara mempunyai penafsiran sendiri-sendiri. Kasus terkenal mengenai kejahatan politik adl kasus Haya de la Torre (Haya de la Torre Case) yg melibatkan Peru dan Kolumbia (lihat L.C.Green dalam bukunya International Law through the Cases). Ada yg menafsirkan kejahatan politik dlm arti sempit, seperti kejahatan yg dilakukan pd waktu terjadinya perang saudara di st negara. Ada pula yang memberikan penafsiran yg lebih luas, yaitu pemaksaan kehendak thd pemerintah yg sah dengan melakukan aksi terorisme atau tindakan-tindakan yg menimbulkan ketakutan. Dgn demikian terjadi berbagai penafsiran sehubungan dgn apa yg disebut kejahatan politik (political crime).

à Azas lain dari ekstradisi adl azas double criminality, yg mensyaratkan bahwa kejahatan yg dpt diserahkan adl merupakan kejahatan yg diancam hukuman baik oleh hukum pidana dr negara yg meminta ekstradisi maupun oleh hukum pidana dr negara yg dimintai ekstradisi. Selama kejahatan yg dilakukan merupakan kejahatan baik menurut hukum dr negara yg meminta maupun dr negara yg dimintai ekstradisi, mk pelakunya harus dianggap sbg pelaku tindak pidana dan negara yg dimintai ekstradisi harus menyerahkan pelakunya kepada negara yg meminta ekstradisi. Negara yg dimintai ekstradisi akan menolak permintaan ekstradisi apabila menurut hukum dr negara yg dimintai ekstradisi perbuatan yg dilakukan bukan merupakan tindak pidana walaupun berdasarkan hukum dr negara yg meminta ekstradisi perbuatan tsb adl st tindak pidana.

à Azas lainnya adl azas ne bis in idem, yaitu st azas yg melarang dilakukannya penyerahan seorang tertuduh yg akan diadili dan dihukum utk kedua kalinya atas kejahatan yg sama. Seorang terhukum tidak boleh diadili dan dihukum utk kedua kalinya

atas kejahatan yg sama. Azas ini juga, sebagaimana azas-azas lain yg telah dikemukakan di atas, dpt dicantumkan dlm perjanjian ekstradisi yg bersifat timbal balik antara dua negara sekiranya perjanjian semacam ini diadakan.

à Azas yg juga bisa dicantumkan dalam perjanjian ekstradisi adl azas kadaluarsa atau azas lewatnya waktu. Apakah daluwarsa itu berupa daluwarsa utk melakukan penuntutan atas st tindak pidana ataukah daluwarsa utk menjalankan st putusan pengadilan, bergantung pd peraturan perundang-undangan nasional masing-masing negara.

+++ Perjanjian Ekstradisi Pertama yg dibuat Indonesia adl Perjanjian antara RI-Malaysia pada 7 Juni 1974. Perjanjian ini telah diratifikasi dgn UU No.9 Tahun 1974. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa ke dalam perjanjian ini… sudah dimasukkan semua azas umum yg sudah diakui dan biasa dilakukan dlm hukum ekstradisi. Ada beberapa hal pokok yg mendapat penekanan, yaitu :1) azas double criminality atau kejahatan rangkap; 2) azas tidak akan menyerahkan kejahatan politik; 3) hak negara utk tidak menyerahkan warganegaranya. Adapun fokus perjanjian ini adl memperkuat hubungan atau ikatan persahabatan dan kerjasama yg efektif antara kedua negara di bidang peradilan; 4) Sistem yg dipakai utk penentuan tindak pidana yg dicakup oleh perjanjian ini bukanlah eliminative system (yaitu st sistem dgn mempergunakan ukuran-ukuran : a) perbuatan ybs merupakan tindak pidana menurut hukum kedua negara; b) sanksi pidana ditentukan batas minimalnya). Perjanjian RI-Malaysia ttg ekstradisi pada tahun 1974 menggunakan sistem enumeratif (the enumerative system), yaitu sistem yg secara limitatif menentukan dan menyebutkan macam-macam tindak pidana yg dapat diekstradisi. Dalam perjanjian ini terdaftar sebanyak 17 item yg dinyatakan sbg tindak kejahatan, a.l. pembunuhan, perkosaan, penculikan, penganiayaan, pemerasan, penipuan dan penggelapan, perdagangan budak, penyuapan dan korupsi, kejahatan thd mata uang dan meterai; 5) ekstradisi harus didasarkan atas permintaan; 6) diterapkan azas teritorialitas yg menyatakan bahwa negara yg dimintai ekstradisi mempunyai hak utk menolak permintaan ekstradisi jika tindak pidana seluruh atau sebagian terjadi dalam wilayah hukumnya; 7) azas non bis in idem; 8) prosedur pelaksanaan ekstradisi (permintaan atau permohonan ekstradisi, penahanan tersangka, penyerahan barang bukti, kelengkapan dokumen yg diperlukan etc) dibuat atas dasar kesepakatan; 9) jika salah satu pihak hendak mengakhiri perjanjian ekstradisi, maka harus diberitahukan kepada pihak lain; 10) penyelesaian sengketa mengenai penafsiran serta pelaksanaan perjanjian harus berdasarkan musyawarah.

+++Perjanjian Ekstradisi antara RI-Filipina 10 Februari 1976;

+++Perjanjian Ekstradisi antara RI-Thailand 29 Juni 1976 (UU No.2 Th 1978);

+++Sejak 18 Januari 1979 RI sbg negara hukum memiliki UU ttg Ekstradisi (UU No.1 Th 1979) yg prinsip-prinsipnya dapat dikemukakan sbb : 1) Ekstradisi harus didasarkan atas permintaan atau permohonan; 2) Obyek permintaan adl tersangka pelaku tindak pidana yg berada atau melarikan diri dlm wilayah hukum dari negara yg dimintai ekstradisi; 3) Ekstradisi dilakukan atas dasar perjanjian. Penyimpangannya dpt dilakukan oleh pemerintah atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan negara menghendaki; 4) Perjanjian ekstradisi menggunakan enumerative system; 5) Menganut azas tidak dpt menyerahkan pelaku kejahatan politik; 6) Permintaan ekstradisi atas wni ditolak kecuali jika karena keadaan di mana tersangka akan lebih baik diadili di negara tempat terjadinya kejahatan; 7) Azas non bis in idem; 8) Permohonan ekstradisi harus ditolak jika ada dugaan kuat tersangka akan dituntut berdasarkan alasan-alasan selain kejahatan politiknya, juga karena keyakinan agamanya, kewarganegaraannya atau bangsa atau golongan penduduk ttt; 9) Prosedur permintaan ekstradisi harus melalui interpol yg ditujukan kpd Kapolri dan atau Jaksa Agung. Syarat-syarat lainnya diatur secara jelas; 10) Perkara ekstradisi termasuk perkara yg didahulukan atau diprioritaskan; 11) Barang bukti yg ikut akan diserahkan harus terlebih dahulu mendapatkan penetapan dari pengadilan negeri; 12) Pasal 47 Bab XI Ketentuan Peralihan menegaskan bahwa pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, semua perjanjian yg telah disahkan sebelumnya adl perjanjian ekstradisi sbgmn dimaksud dlm undang-undang ini. Dgn adanya undang-undang ini, RI juga telah menerima azas-azas hukum internasional yg umum berlaku dlm pergaulan masyarakat internasional menyangkut soal ekstradisi. Sbg negara hukum Indonesia sudah meletakkan hukum dasar yg kuat dlm bentuk undang-undang yg mengatur pokok-pokok mengenai masalah ekstradisi dan tidak lagi didasarkan atas kebijakan-kebijakan yg karena keadaan setiap saat bisa saja berubah sehingga dapat menjamin adanya kepastian hukum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar